Tagline Kami
SH Terate Cabang Ponorogo Berkomitmen "TERDEPAN MEMBANGUN PERSAUDARAAN"

Kilas Balik Sejarah Perjalanan Hidup Almarhum Kangmas K.R.T. Tarmadji Budi Harsono

Foto lukisan  :  Almarhum Kangmas K.R.T. Tarmadji Budi Harsono.

MADIUN I shteratecabponorogo.or.id- Ketua Dewan Pembina Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Pusat, Madiun, K.R.T. Tarmadji Budi Harsono, tutup usia, Selasa (20/10/2015) pukul 09.30 WIB. Lelaki 69 tahun itu mengembuskan napas terakhir di RS Islam Kota Madiun. Keluarga besar Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate pun berduka. Tarmadji Boedi Harsono yang empat periode berturut-turut menjadi ketua umum pusat (1981-2014) ini dianggap sebagai grand master perguruan pencak silat Madiun tersebut.

Pernyataan duka cita dan doa meruap. Kisah perjuangan hidup Tarmadji Boedi Harsono pun menjadi kenangan. Berikut ini kisah perjalanan dan perjuangan Tarmadji Boedi Harsono selama hidup karya Andi Casiyem Sudin yang disarikan Madiunpos.com dari laman Shterate.or.id, Selasa (20/10/2015). Materi serupa juga dimuat di Shterate.com yang dikelola Hendra W. Saputro. H.Tarmadji Boedi Harsono, S.E, lahir di Madiun, Februari 1946, dengan nama kecil Tarmadji. Di lingkungan Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate, Tarmadji lebih akrab dipanggil Mas Madji.

Tarmadji merupakan anak sulung enam bersaudara, dari keluarga sederhana dengan tingkat perekonomian pas-pasan. Ayahnya, Suratman, pegawai rendahan di Departemen Transmigrasi, sedangkan ibunya, Hj. Tunik (almarhum) hanya ibu rumah tangga.

Dari latar belakang keluarga ini, dia pun melewati masa kecil penuh kesederhanaan. Namun ketika Tarmadji Boedi Harsono beranjak dewasa, kekurangan ini justru melahirkan semangat juang tinggi dalam mengubah nasib sehingga ia berhasil menjadi seorang tokoh yang diperhitungkan.

Sosok tokoh yang tidak saja diperhitungkan di sisi harkat dan martabatnya, akan tetapi juga berhasil menyeruak ke permukaan dan mampu mengenyam kehidupan cukup layak dan wajar. Tutur kata leklaki yang lebih akrab disapa Mas Madji itu bahkan dianut sebagai pedoman oleh anggota persaudaraan pencak silkatnya.

”Aja seneng gawe ala ing liyan, apa alanne gawe seneng ing liyan [Jangan suka menyengsarakan orang lain, tak ada salahnya membuat senang orang lain],” tutur Tarmadji Boedi Harsono sebagaimana dicatat Shterate.or.id.

Tarmadji Boedi Harsono yang sejak kecil lebih suka duel satu lawan satu dipercaya menjadi ketua umum Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate empat periode berturut-turut.

Hidup tak ubahnya seperti air. Bergerak mengalir dari hulu, berproses, menuju muara. Begitupun perjalanan hidup H.Tarmadji Boedi Harsono, S.E. Siswa kinasih R.M. Imam Koesoepangat (peletak dasar reformasi ajaran Setia Hati Terate ) ini, layaknya manusia lumrah telah berproses melewati perjalanan waktu penuh liku-liku dalamnya.

Atas bimbingan langsung dari R.M. Imam Koesoepangat pulalah, Tarmadji-atau Mas Madji sapaan akrabnya-akhirnya mencapai puncak tataran ilmu Setia Hati (SH) . Ia dipercaya menjadi ketua umum Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate di pusat perguruannya, Madiun, hingga empat periode berturut-turut sejak tahun 1981 hingga meletakkan jabatan itu 13 April 2014. Masa kecil H.Tarmadji Boedi Harsono,S.E, sebagaimana dicatat Shterate.or.id, berjalan biasa-biasa saja, laiknya seorang bocah. Di kalangan teman sepermainann, dia dikenal sebagai anak pemberani dan suka menghadapi tantangan. Sejak kecil dia suka duel di luar. Tapi ia mengaku malu jika main keroyokan (tawuran). Tarmadji kecil lebih suka duel satu lawan satu.

Sewaktu duduk belajar di bangku kelas III SD Panggung, Madiun, misalnya, Mas Madji sudah mulai berani berkelahi di luar sekolah. Kesukaan dia untuk duel satu lawan satu berlanjut hingga duduk di bangku sekolah menengah pertama. Bahkan ketika duduk di SMAN 1 Madiun, ia terancam dikeluarkan dari sekolah jika masih suka berkelahi. Yang berbeda dibandingkan teman sebaya, dia lebih suka bergaul dengan teman yang usianya jauh lebih tua. Barangkali karena tabiatnya ini, kelak menjadikan cara berpikir Tarmadji cepat menjadi dewasa.

Mas Madji mulai tertarik pada olah kanuragan (beladiri), saat berusia 12 tahun. Ceritanya, saat itu, tahun 1958, di halaman Rumah Dinas Walikota Madiun digelar pertandingan seni beladiri pencak silat (sekarang pemainan ganda). Satu tradisi tahunan yang selalu diadakan untuk menyambut Hari Kemerdekaan. Puluhan bahkan belasan pendekar dari berbagai perguruan yang ada di kota setempat naik panggung demi menunjukkan ketangkasan dalam permainan jurus. Malam itu, Mas Madji sempat kagum pada ketangkasan dan keluwesan para pendekar yang tanpil di gelanggang. Terlebih saat R.M. Imam Koesoepangat tampil, dan keluar sebagai juara.

Sepulang melihat gelar permainan seni beladiri pencat silat itu, benaknya dipenuhi obsesi keperkasaan pendekar. Ia bermimipi dalam cita rasa dan kekaguman jiwa kanak-kanak. Cita rasa dan kekaguman itu menyulut keinginan dia belajar pencak agar menjadi pendekar perkasa. Sosok pendekar sakti sekaligus jumawa, persis seperti yang tergambar dalam benaknya.

Kebetulan tidak jauh dari rumahnya, tepatnya di Paviliun Kabupaten Madiun (rumah keluarga R.M. Koesoepangat, terletak bersebelahan dengan Pendapa Kabupaten Madiun) ada latihan pencak silat Persaudaraan Setia Hati Terate. Pelatihnya adalah R.M. Imam Koesoepangat. Di komunitas SH Terate beliau lebih akrab dipanggil Mas Imam.

Selang sepekan sejak menonton permainan seni pencak silat di halaman Rumah Dinas Wali Kota itu, Tarmadji memberanikan diri menemui Mas Imam. Dengan suara agak gemetar, antara harapan dan kecemasan, dia meminta agar diperbolehkan ikut latihan. Namun, permintaan itu ditolak dengan alasan usianya masih terlalu muda.

Saat itu, ada tata tertib, yang boleh mengikuti latihan Setia Hati Terate adalah anak dengan usia 17 tahun ke atas (sudah dewasa). Atau anak yang sudah duduk di bangku SMA. Penolakan itu menjadikan Tarmadji sedih. Obsesi pendekar sakti yang mulai terbangun di dalam jiwanya runtuh, seketika. Beberapa hari ia tak doyan makan. Lama kesedihan itu hinggap dalam jiwanya. Hari-hari berikutnya, Tarmadji kecil hanya bisa berharap, waktu segera terlewati dan usianya beranjak dewasa. Setidaknya, cepat masuk ke SMA, hingga dia boleh ikut latihan SH Terate.

Ditolak bergabung Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate karena usianya dinilai terlalu muda tak membuat Tarmadji Boedi Harsono mempuskan keinginan menjadi pendekar pencak silat. Mas Madji-sapaan akrabnya-justru ingin segera dewasa dan boleh turut berlatih dengan para pesilat SH Terate. Setahun selang peristiwa penolakan atasnya berlatih bersama SH Terate, tepatnya tahun 1959, Tarmadji bak mendapat durian runtuh. R.M. Abdullah Koesnowidjojo atau Mas Gegot-adik kandung Mas Imam, menyampaikan kabar baik. Mas Imam memperbolehkan dia ikut latihan, untuk menemani Mas Gegot. Pasalnya, Mas Gegot juga ingin sekali ikut latihan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Kabar tersebut seperti membangkitkan obsesi pendekar sakti yang sempat pupus di dalam jiwa Tarmadji. Semangatnya bangkit kembali. Batinnya berbunga-bunga.

Tak sabar, Tarmadji bertanya kepada Mas Gegot, kapan mereka diperbolehkan mulai berlatih. Mas Gegot menyebut jadwal latihan pertama yang harus dijalani. Tapi syaratnya, mereka berdua hanya diperbolehkan menempati baris paling belakang. Tekun Berlatih Kesempatan pertama yang diberikan padanya, benar, tak disia-siakan. Hari-hari setelah diizinkan ikut latihan, jiwa Tarmadji seakan diterbangkan ke langit. Bayangan sosok pendekar dengan kesaktian yang dimiliki memformat hampir setiap langkahnya.

Boleh dibilang, tak ada hari tanpa berobsesi dan tak ada hari tanpa latihan pencak silat. Apalagi waktu latihan saat itu belum terjadwal seperti sekarang ini. Kadang siang hari, sepulang R.M. Imam Koesoepangat kerja. Tidak jarang, latihan di malam hari hingga waktu fajar.

Satu hal yang cukup mendukung kelancaran jadwal latihan Tarmadji, selain Mas Gegot teman akrabnya, adalah kedekatan tempat tinggalnya dengan Paviliun Kabupaten Madiun. Rumah keluarganya hanya terpaut sekitar 200 meter arah barat dari paviliun. Tak berlebihan, jika saban hari ia bermain di Paviliun dan setiap pukul 13.00 WIB, ia dan Mas Gegot setia menunggu kepulangan Mas Imam di beranda Paviliun. Kala itu, hari kerja pegawai negeri enam hari kerja, masuk pukul 07.00 WIB pulang pukul 14.00 WIB. Begitu melihat Mas Imam pulang, ia langsung menyalami dan bersabar menunggu sang pelatih makan siang. Kadang harus bersabar pula menunggu cukup lama, karena Mas Imam perlu istirahat selepas kerja. Berhari-hari, berbulan hingga bertahun, ketekunan dan kesabaran serupa itu dilakukannya. Obsesinya hanya satu, ia ingin menjadi pendekar Setia Hati Terate.

Seorang pendekar baginya adalah seseorang yang bukan saja menguasai ilmu beladiri tetapi juga mengerti hakikat kehidupan. la ingin tampil menjadi sosok manusia seutuhnya. Manusia yang cukup diperhitungkan, menjadi teladan bagi sesama. Dan,jalan itu kini mulai terbuka. Tarmadji tidak ingin menyia-nyiakannya
Ketekunan dan kemauan kerasnya itu, menjadikan Mas Imam menaruh perhatian penuh padanya. Itu ditunjukkan dengan seringnya dia diajak mendampingi beliau melakukan tirakatan ke berbagai tempat, kendati saat itu masih siswa dan belum disyahkan. Dari Paviliun ini, Tarmadji kecil, selain belajar pencak silat, juga mulai menyerap ajaran tata krama pergaulan dalam lingkup kaum ningrat. Satu tatanan pergaulan kelompok bangsawan trah kadipaten pada zamannya.

Pergaulannya dengan Mas Imam ini, membuka cakrawala baru baginya. Tarmadji yang lahir dan berangkat dari keluarg masa awam, sedikit demi sedikit mulai belajar tata krama rutinitas hidup kaum bangsawan. Dari tata krama bertegur sapa dengan orang yang usianya lebih tua, bertamu, makan, minum. hingga ke hal-hal yang berbau ritual, misalnya olahrasa (latihan mempertajam daya cipta) atau laku tirakat. Dalam istilah lebih ritual lagi, sering disebut sebagai tapa brata, di samping tetap tekun belajar olah kanuragan.

Salah satu pesan yang selalu ditekankan R.M. Imam Koesoepangat setiap kali mengajak dia melakukan tirakatan adalah, “Jika kamu ingin hidup bahagia, kamu harus rajin melakukan tirakat. Disiplin mengendalikan dirimu sendiri dan jangan hanya mengejar kesenangan hidup. Nek sing mokgoleki senenge, bakal ketemu sengsarane.

Kosokbaline, nek sing mokgoleki sengsarane, bakal ketemu senenge (Jika kamu hanya mengejar kesenangan kamu akan terjerumus ke lembah kesengsaraan. Sebaliknya jika kamu rajin berlatih, mengendalikan hawa nafsu tirakatan, kelak kamu akan menemukan kebahagiaan). Ingat, sepira gedhening sengsara, yen tinampa amung dadi coba (seberat apa pun kesengsaraan yang kamu jalani, jika diterima dengan lapang dada, akan membuahkan hikmah).”

Kesempatan bergabung dengan Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate pada usia muda tak disia-siakan Tarmadji Boedi Harsono. Ia bukan hanya tekun berlatih pencak silat, namun juga olahrasa atau laku tirakat. Pergaulannya dengan R.M. Imam Koesoepangat, bahkan juga membuka cakrawala baru tentang tata krama kaum bangsawan.

Mas Madji – sapaan akrab Tarmadji Boedi Harsono-juga menjadi kenal dengan tokoh-tokoh SH Terate dari berbagai penjuru Nusantara. Dengan rajib datang ke Paviliun Kabupaten Madiun, Tarmadji mengenal Soetomo Mangkoedjojo, Badini, Salyo (Jogja). Murtadji (Solo), Sudardjo (Porong) dan Harsono (putra Ki Hadjar Hardjo Oetomo -pendiri SH Terate), Koentjoro, Margono, Drs. Isayo (ketiganya tinggal di Surabaya, serta Niti (Malang).

Ia juga mulai akrab dengan sesama siswa Setia Hati Terate, seperti Soedibjo (sekarang tinggal di Palembang), Hasan Suwarno (tinggal di Solo), Sumarsono (Madiun), Bambang Tunggul Wulung (putra Soetomo Mangkoedjojo, almarhum–terakhir tinggal di Semarang), Sudiro (alm), Sudarso (alm), Bibit Soekadi (alm) dan R.M. Abdullah Koesnowidjojo (alm).

Suatu malam, tepatnya sepekan sebelum dia disyahkan, Soetomo Mangkoedjojo, ketua SH Terate, datang ke rumahnya. Padahal saat itu malam sudah larut dan ia sendiri mulai beranjak tidur. Mendengar suara ketukan di pintu, ia pun bangkit, membukakan pintu. la sempat kaget saat mengetahui yang datang adalah tokoh Setia Hati Terate. Namun ketika dipersilakan masuk, beliau menolak. “Wonten punapa, Pak. Wonten dawuh punapa? (Ada apa, Pak? Ada perintah apa?)” tanya Mas Madji. “Ya wis, ora apa-apa. Wis boboko maneh (Ya sudah, tidak apa-apa. Sudah, tidurlah kembali),” jawab Soetomo Mangkoedjaja. Besok paginya, Mas Madji menghadap Soetomo Mangkoedjojo, menanyakan keperluan beliau datang ke rumahnya semalam.

“Gak apa-apa kok, Dik. Awakmu nesu to aku bengi-bengi teko mertamu? (Gak apa-apa, Dik. Kamu marah karena saya bertamu malam hari?)” jawab Soetomo Mangkoedjojo.
Mas Madji menjawab, “Mboten (Tidak).”
Sotomo Mangkoedjojo tersenyum.

Setelah mengamati Mas Madji dan menghela napas, beliau berkata. ”Dik, persaudaraan nang SH Terate, nek ana sedulure teko, ndodok lawang, sakwayah wayah, awan apa bengi, bukakno lawang sing amba. Sebab, yen ana dulur mertamu iku mesti nggawa wara-wara (Dik, persaudaraan di Setia Hati Terate itu, jika ada saudara datang, mengetuk pintu, sewaktu-waktu, entah itu siang atau malam, bukakanlah pintu lebar-lebar. Sebab, kedatangan saudaramu itu pasti membawa berita penting).”

Pesan dari tokoh peletak dasar organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate itu, hingga di hari tuanya, seolah-olah terus terngiang dalam benaknnya. Pesan itu pulalah yang menjadikan dirinya setiap saat selalu bersedia membukakan pintu bagi warga Setia Hati Terate yang bertandang ke rumahnya di Jl. MT. Haryono 80 Kota Madiun, hingga kini.

Setelah berlatih selama lima tahun, yakni pada tahun 1963, Tarmadji disahkan menjadi Pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate Tingkat I, bersama-sama Soediro, Soedarso, Bibit Soekadi, Soemarsono, Soedibjo, Bambang Tunggul Wulung, dan R.M. Abdullah Koesnowidjojo.

Keberhasilan Tarmadji meraih gelar Pendekar Tingkat I, tidak menjadikan dirinya sombong. Sekalipun, sesuai tradisi di SH Terate, pascadisyahkan ia mulai dipanggil Mas Madji, oleh adik adik tingkatnya.
Ya, Mas Madji justru menerima anugerah tersebut dengan rasa syukur dan tetap tawakal. Ia berprinsip, keberhasilan itu barulah awal dari perjalanannya di dunia ilmu kanuragan. Masih banyak hal yang harus dipelajari. Dan, itu hanya bisa dilakukan jika ia tetap tekun berlatih dan belajar. Pilihannya sudah bulat. Maknanya, ia pun harus mampu melanjutkan perjalanan hingga ke titik akhir.

Pada tahun 1961, Mas Madji mulai masuk ke gelanggang pendulangan medali pencak silat dan berhasil meraih juara I dalam permainan ganda tingkat kanak-kanak se Jawa Timur, berpasangan dengan Abdullah Koesnowidjo. Sukses itu, diulang lagi tahun 1963. Pada tahun yang sama, sebenamya ia berkeinginan turun ke pertandingan Adu Bebas di Madiun, akan tetapi Mas Imam melarang. la sempat menangis karena dilarang ikut bertanding.

Tahun 1966, berpasangan dengan R.B. Wijono, Mas Madji kembali ikut kejuaraan yang sama di Jatim. Namun, ia mengaku saat itu kelewat sombong dan meremehkan lawan. Akibatnya, ia gagal mempertahankan juara dan hanya berhasil merebut juara II. Kesombongan berbuah kehancuran. Kegagalan mempertahankan gelar ini, menjadikan dirinya malu dan tidak mau mengambil tropi kejuaraan.

Kasus serupa terulang lagi pada tahun 1968, saat mengikuti kejuaraan di Jember. Padahal sebelum berangkat Mas Imam sudah memperingatkan agar ia tidak usah ikut karena kurang persiapan. Namun Mas Madji nekat berangkat. Hasilnya adalah kekalahan yang menyedihkan, karena hanya berhasil menjadi Juara Harapan.

Kegagalan demi kegagalan mempertahankan gelar juara, menjadikan Mas Madji sadar bahwa sombong dan meremehkan lawan hanya akan menuai kekalahan. Untuk itu ia terus berlatih, mempempersiapkan diri sebelum bertanding. Hasilnya, ia kembali mampu merebut Juara I di Pra PON VII, Surabaya. Di PON VII, ia meraih juara III.

Pengalaman bertanding di gelanggang ini merupakan bekal Mas Madji melatih altet pada era ’70-an. Pada tahun 1978, ia memberanikan diri menerjunkan altet ke gelanggang pertandingan kendati Mas Imam kurang sependapat.

Dalam kurun waktu 1974-1978, Mas Imam sempat mengambil kebijakan tidak menurunkan atlet ke gelanggang pertandingan pencak silat yang digelar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Namun pada tahun 1978, Tarmadji memberanikan diri membawa atlet asuhannya ke gelanggang, setelah secara diam-diam dipersiapkan matang. la pula yang berhasil meyakinkan Mas Imam bahwa Setia Hati Terate masih tetap diperhitungkan di gelanggang kejuaraan.

Terbukti! Sejumlah atlet asuhannya, berhasil meraih medali kejuaraan. Prinsip Mas Madji, SH Terate dulu ikut membidani lahirnya IPSI. Maka jika SH Terate ingin tetap diperhitungkan, harus turut andil melagakan atletnya di gelanggang pertandingan yang digelar IPSI. Bahkan, sejumlah tokoh SH Terate kalau bisa justru menjadi pengurus IPSI sehingga ikut menentukan kebijakan di organisasi pencak silat se-Tanah Air tersebut.

Di luar ketekunannya memperdalam gerak raga, Tarmadji Boedi Harsono alias Mas Madji kian intensif memperdalam olah rasa. Hubungan dekatnya dengan R.M Imam Koesoepangat memberi kesempatan luas pada dirinya untuk memperdalam Ke-SH-an.
Jika dulu, ketika belum disyahkan menjadi pendekar tingat I, ia hanya diajak mendampingi Mas Imam saat melakukan tirakatan, sejak disyahkan sebagai pendekar ia pun mulai dibimbing untuk melakukan tirakatan sendiri. Beberapa tata cara dan tata krama laku ritual mulai diberikan, di samping bimbingan dalam menghayati jati diri di tengah-tengah rutinitas kehidupan ini.
Di pengujung tahun 1965, setamat Mas Madji dari SMA, semangatnya untuk memperdalam ilmu Setia Hati kian menggebu. Bahkan di luar perintah R.M Imam Koesoepangat, ia nekat melakukan tirakat puasa 100 hari dan hanya makan sehari satu kali.waktu matahari tenggelam (Magrib). Ritual itu ia tempuh karena terdorong semangatnya untuk mengubah nasib. la ingin bangkit dari kemiskinan. la tidak ingin berkutat di papan terendah dalam strata kehidupan. la ingin diperhitungkan.

Genap 70 hari ia berpuasa, R.M Imam Koesoepangat memanggilnya. Malam itu, ia diterima langsung di ruang dalem paliviun. Padahal biasanya Mas Imam hanya menerimanya di ruang depan atau pendapa. Setelah menyalaminya, Mas Imam malam itu meminta agar ia menyelesaikan puasanya.
Menurut Mas Imam, jika puasanya itu diteruskan justru akan berakibat fatal. “Dik Madji bisa gila, kalau puasanya diteruskan. Laku itu tidak cocok buat Dik Madji,” ujar Mas Imam.

“Di samping itu,” lanjut Mas Imam, “Dik Madji itu bukan saya dan saya bukan Dik Madji. Sing apik, goleka dhisik sangune urip Dik, lan aja lali golek sangune pati (carilah bekal hidup lebih dulu dan jangan lupa pula mencari bekal untuk mati).”Kemudian dengan bahasa isyarat (sanepan) Mas Imam memberikan petunjuk tata cara laku tirakat yang cocok bagi dirinya. “Api itu musuhnya air, Dik,” ujar Mas Imam.

Sanepan itu kemudian diterjemahkan oleh Mas Madji dalam proses perjalanan hidupnya, hingga suatu ketika ia benar-benar menemukan laku yang sesuai dengan kepribadiannya. Ia menyebut, laku tersebut sebagai proses mencari jati diri atau mengenal diri pribadi, yakni ilmu Setia Hati.

Malam itu juga, atas nasihat Mas Imam, ia mengakhiri laku tirakatnya. Pagi berikutnya, ia mulai keluar rumah dan bergaul dengan lingkungan seperti hari-hari biasanya. Enam bulan berikutnya, ia mulai mencoba mencari pekerjaan dan diterima sebagai karyawan honorer pada Koperasi TNI AD, Korem 081 Dhirotsaha Jaya Madiun. Pekerjaan ini dijalaninya hingga tahun 1971.

Ada cerita menarik seputar pengunduran diri Mas Madji dari pekerjaan sebagai karyawan di Koperasi TNI AD. Suatu hari ia dipanggil Mayor Kasmuri, salah satu petinggi Korem 081 Dhirotsaha Jaya saat itu. Setelah bertemu, perwira menengah itu malah menyuruh Mas Madji keluar dari pekerjaannya.“Kene ki dudu panggonanmu. Panggonanmu ora ning kene (Di sini bukan tampatmu. Tempatmu bukan di sini),” kata Mayor Kasmuri.

Mendengar itu semula Mas Madji kaget. Sebab, pekerjaan itu sudah lama dijalani, bahkan proses pengangkatan dia sebagai pegawai negeri (sipil AD) sudah diurus. Tinggal menunggu turun SK yang kabarnya tinggal menunggu hari. Tapi setelah dipikir dan ditimbang, akhirnya Mas Madji menurut. Ia putuskan keluar kerja dari Korem, meski tepat di hari dia keluar SK pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil keluar juga.

“Ada dorongan kuat yang menyuruh saya keluar.Sekarang saya baru tahu, ternyata dorongan dan nasihat Mayor Kasmuri itu adalah isyarat bahwa tempat saya memang bukan di Korem, bukan sebagai pegawai negeri,” ujar Mas Madji. Pada tahun 1972, ia berpindah kerja di Kantor Bendahara Madiun, namun hanya bertahan beberapa bulan. Mas Madji selanjutnya pindah kerja lagi di PT. Gaper Migas Madiun pada paruh tahun 1973.

Setahun kemudian, ia menikah dengan Hj.Siti Ruwiyatun, setelah dirinya yakin bahwa honor pekerjaannya mampu untuk membina mahligai rumah tangga. Dari pemikahannya ini, beliau dikaruniai tiga orang putra, yakni Dani Primasari Narendrani,S.E (sekarang tinggal di Jogja), Drs. Bagus Rizki Dinarwan SST (tinggal di Madiun) , dan Arya Bagus Yoga Satria,SE (tinggal di Madiun). Di tempat kerja yang baru ini, tampaknya, Mas Madji menemukan kecocokan. Orang Jawa bilang, “jodho”.Terbukti, profesi tersebut membuahkan barokah. Rezekinya tambah lancar. Bahkan pada tahun 1975 ia ditunjukkan menjadi semi agen minyak tanah dan diberi keleluasaan untuk memasarkan sendiri.

Berawal dari sini, perekonomian keluarganya mulai kokoh. Sedikit demi sedikit ia mulai bisa menyisihkan penghasilannya, hingga pada tahun 1976 berhasil membeli armada truk tangki minyak tanah sendiri. Berkat keuletan dan perjuangan panjang tanpa kenal menyerah, pada tahun 1987, Mas Madji diangkat menjadi agen resmi Pertamina.

Dalam perkembangannya, ia bahkan berhasil dipercaya untuk membuka SPBU (Pom Bensin) di Beringin, Ngawi. Hingga tahun 2012, SPBU milik Mas Madji, bertambah dan bertambah lagi. Menyusul kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji, bersama pengusaha migas lainnya, dia juga mendirikan SPPBE.
Senioritas Mas Madji di bisnis migas, menjadikan rekan pengusaha lain menunjuk dia memegang jabatan di organisasi pelaku bisnis Migas. Sebut misalnya, Ketua III, DPD V Hiswana Migas dengan wilayah kerja Jawa Timur, Bali, NTT dan NTB, serta Ketua Hiswana Migas Madiun (mempertimbangkan faktor usia, jabatan ini diakhiri tahun 2012).
Tampaknya dunia wirausaha memang tepat baginya. Ini bisa dilihat lewat pengembangan sayap usahanya, yang tidak hanya berkutat di bidang migas tetapi juga merambah ke dunia telekomunikasi dengan mendirikan sejumlah warung telekomunikasi (wartel). Malahan di bidang ini, ia ditunjuk debagai Ketua APWI (Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia) untuk daerah Madiun dan sekitarnya.

Di luar kegiatan bisnisnya, Mas Madji setia mengembangkan Setia Hati Terate. Bahkan, tidak jarang ia rela mengalahkan kepentingan keluarga dan pekerjaannya demi organisasi tercinta. ”SH Terate adalah darah daging saya. la sudah menjadi bagian dari hidup saya,” ujar Tarmadji Boedi Harsono kala dipercaya menjadi ketua umum SH Terate Pusat di Madiun.

Sementara itu, kebiasaan nyantrik di kediaman R.M Imam Koesoepangat terus dijalani. Kepercayaan dan perhatian Mas Imam sendiri setelah ia berhasil menyelesaikan pelajaran tingkat I, semakin besar. Sampai-sampai kemana pun Mas Imam pergi, ia selalu diajak mendampinginya. Tahun 1970 ia disyahkan menjadi pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate tingkat II. Tahun 1971, Tarmadji dipercaya menjadi Ketua Cabang Persaudaraan Setia Hati Terate Madiun. Jabatan tersebut dijalani hingga tahun 1974.

Pada suatu siang, sekitar pukul 11.00 WIB pada tahun 1978, Tarmadji dipanggil R.M Imam Koesoepangat di rumah Pak Badini. Orang yang diminta memanggil dia adalah Soebagyo T.A. Tanpa berpikir dua kali, ia berangkat ke Oro-Oro Ombo, tempat kediaman Pak Badini. Mas Imam mengutarakan niat akan membuka latihan tingkat III. Tarmadji sendiri yang dipilih untuk dilatih sekaligus diangkat dan disyahkan menjadi Pendekar Tingkat III.

“Kula piyambak,Mas? (Saya sendiri,Mas?)” tanya Tarmadji agak kaget. “Njih Dik. Dik Madji piyambak!” (Ya, Dik. Hanya Dik Tarmadji sendiri!)” jawab Mas Imam.

Mendengar jawaban itu, Tarmadji dengan santun, menolak. la tidak bersedia disyahkan menjadi Pendekar Tingkat III jika sendirian.
“Kula nyuwun rencang. Mas (Saya minta teman,Mas),” pinta Tarmadji.
“Nek Dik Madji nyuwun rencang, sinten? (Kalau Dik Madji minta teman, siapa?)” tanya Mas Imam.

Kangmas Tarmadji saat itu langsung menyebut nama-nama Pendekar Tingkat II seangkatannya. Namun Mas Imam menolak dan bersikukuh tetap hanya akan mengangkat Tarmadji sendiri. Terjadi tarik ulur. Satu sisi Mas Imam bemiat hanya akan mengangkat dia, namun Tarmadji tetap minta teman.“Sapa Dik, kancamu?” tanya Mas Imam. Tarmadji menyebut nama Soediro.

Nama ini pun semula ditolak. Namun atas desakan dia, akhimya Mas Imam menyetujui dengan syarat ia harus mau ikut menangung risiko. Dalam pikiran Tarmadji, apa yang disebut risiko, waktu itu adalah risiko pembiayaan yang terkait dengan pengadaan persyaratan pengesahan (ubarampe). Karenanya, ia langsung menyanggupi.

Hari-hari berikutnya, Tarmadji dan Soediro, mulai berlatih tingkat III. Pelaksanaan latihan berjalan lancar. Namun pada saat mereka disyahkan, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Sesuatu itu, adalah hal yang di luar perhitungan akal sehat. Sesuatu yang erat kaitannya dengan misteri gaib.

Tarmadji tidak pemah menduga bahwa misteri itu akan berbuntut panjang. Wallahu a’lam bi ssawab, hanya Allah yang Maha Mengerti. Ternyata dalam perjalan hidup, Soediro lebih dulu dipanggil Yang Kuasa.
Peristiwa itu, sungguh, sangat menggetarkan jiwa Tarmadji. Pedih rasanya. Lebih pedih lagi, saat ia melihat Mas Imam menangis di samping jenazah saudara seperguruannya itu.Mendiang Ketua Dewan Pusat Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate, Tarmadji Boedi Harsono.

Keberhasilannya mempelajari ilmu tertinggi di Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate ini, menambah dirinya semakin diperhitungkan.
Cantrik setia R.M. Imam Koesoepangat yang di waktu-waktu sebelumnya selalu tampil di belakang ini, sejak berhasil menyelesaikan puncak pelajaran di SH Terate, mulai diterima dan diperhitungkan di kalangan tokoh organisasinya. Sejalan dengan kapasitasnya sebagai Pendekar Tingkat III, ia mulai dipercaya tampil ke depan dengan membawa misi organisasi.

Tahun 1978 Tarmadji dipilih menjadi Ketua I Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate, mendampingi Badini sebagai ketua umum. Puncak kepercayaan itu berhasil diraih pada Mubes Persaudaraan Setia Hati Terate 1981, yakni dengan terpilihnya ia menjadi ketua umum pusat.

Setahun setelah Tarmadji memimpin organisasi, sejumlah terobosan yang dimungkinkan bisa mendukung pengembangan sayap organisasi diluncurkan.Salah satu produk kebijakan yang dilahirkan adalah pendirian Yayasan Setia Hati Terate lewat Akta Notaris Dharma Sanjata Sudagung No. 66/1982. Yayasan Setia Hati Terate merupakan komitmen organisasi untuk andil memberikan nilai lebih bagi masyarakat, khususnya di sektor ril.
Mengembangkan Organisasi Dalam perkembangannya, di samping berhasil mendirikan Padepokan Persaudaraan Setia Hati Terate di lahan seluas 12.290 m2 yang beriokasi di Jl. Merak Nambangan Kidul Kota Madiun, yayasan ini juga mendirikan dua lembaga pendidikan formal Sekolah Menengah Umum (SMU) Kususma Terate dan Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP) Kusuma Terate serta lembaga pendidikan keterampilan siap pakai. Sedangkan untuk meningkatkan perekonomian warganya, Tarmadji Boedi Harsono meluncurkan produk kebijakan dalam bentuk koperasi yang kemudian diberi nama Koperasi Terate Manunggal.

Hingga saat ini, Yayasan Setia Hati Terate telah memiliki sejumlah aset, antara lain tanah seluas 12.190 m2 yang di atasnya berdiri sarana dan prasarana fisik seperti Pendapa Agung Saba Wiratama, Gedung Sekretariat Persaudaraan Setia Hati Terate, Gadung Pusdiklat Sasana Kridangga, Gedung Pertemuan Sasana Parapatan, Gedung Training Centre Sasana Pandadaran, Gedung Peristirahatan Sasana Amongraga, Gedung Seba Guna, Kantor Yayasan Setia Hati Terate, Gedung SMK Pariwisata Kusuma Terate, gadung Koperasi Terate Manunggal dan Gelanggang Adu Bebas SH Terate Sasana Krida Wiratama.

Searah dengan itu, pergaulannya dengan para tokoh Setia Hati Terate pun semakin diperluas. Beberapa tokoh berpengaruh Persaudaraan Setia Hati Terate didatangi. Dari para tokoh yang didatangi itu, ia tidak saja mampu memperdalam teknik pencak SH Terate, tapi juga menerima banyak wejangan kerokhanian. Bahkan saat Tarmadji dipercaya untuk memimpin Setia Hati Terate, sejumlah tokoh yang dulu pemah dihubunginya itu dengan rela menyerahkan buku-buku pakem Ke-SH-an yang mereka tulis sendiri Wejangan, baik lisan maupun tulisan, dari para tokoh dan sesepuh ini di kemudian hari dijadikan bekal dalam memimpin Setia Hati Terate. Dan terlepas dari segala kelemahannya, terbukti Mas Madji mampu membawa organisasi tercinta menjadi sebuah organisasi yang cukup diperhitungkan, tidak saja di dunia persilatan tapi juga di sektor lainnya.

Data Oktober 2012 menyebutkan Setia Hati Terate telah memiliki 204 cabang yang tersebar di Indonesia serta 67 komisariat perguruan tinggi dan lima komisariat luar negeri. Itu berarti selama dipegang Tarmadji, perkembangan cabang SH Terate bertambah cukup siginifikan, dari yang semula 46 cabang di era kepemimpinan duet R.M. Imam Koesoepangat dan Tarmadji, menjadi 200 cabang, atau bertambah sebanyak 154 cabang. Dari jumlah itu cabang yang telah resmi mengantongi SK SH Terate Pusat Madiun, sebanyak 195 cabang. Sisanya masih dalam proses pengukuhan.

Kangmas Tarmadji Boedi Harsono membuat organisasi Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate meraksasa dengan anggota berjumlah jutaan orang. Patut dipertanyakan, misteri di balik keberhasilannya membawa Setia Hati Terate ke tingkat yang lebih terhormat dan diperhitungkan daripada sebelumnya.
Shterate.or.id dan Shterate.com mencatat jawabnya. Ternyata ada pada tiga titik inti yang jika ditarik garis lurus akan membentuk misteri segi tiga.

Titik pertama berada di Desa Pilangbango, Madiun (kediaman Ki Hadjar Hardjo Oetomo–titik lahimya Setia Hati Terate), titik kedua berada di Pavilium Kabupaten Madiun (kediaman R.M Imam Koesoepangat–titik perintisan Setia Hati Terate) dan titik ketiga berada di Padepokan Persaudaraan Setia Hati Terate Jl. Merak Nambangan Kidul Kota Madiun–titik H. Tarmadji Boedi Harsono,S.E mengembangkan Persaudaraan Setia Hati Terate.

Tak Cukup SH Terate Lebih jauh dari Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate, Tarmadji Boedi Harsono juga diperhitungkan di masyarakat lebih luas. Tokoh yang mendapatkan gelar sarjana ekonomi dari Universitas Merdeka (Unmer) Madiun ini juga andil di organisasi kemasyarakatan. Bahkan sempat menduduki sejumlah jabatan cukup strategis hampir di setiap organisasi yang diikutinya.

Di dunia politik misalnya, Mas Madji dipercaya menjadi wakil rakyat Kota Madiun hingga dua periode (periode 1987-1992 serta periode 1997-1999). Sukses karier politik kembali diraih periode 2004-2009, yakni dengan menjabat sebagai Ketua DPRD Kota Madiun.

Pada sisi ini ada pelajaran cukup berharga dari Mas Madji. Bahwa SH Terate tetap berafiliasi pada partai politik manapun. Berafiliasi artinya netral, tidak menginduk. Tapi sebagai bagian masyarakat berbangsa dan bernegara, SH Terate membebaskan anggotanya bergabung pada partai politik, sesuai dengan hati nuraninya.

Sementara jika ada warga SH Terate yang menjadikan partai politik sebagai jalan hidup, menjadi politikus, Mas Madji mengimbau, jadilah politikus yang luhur. Politikus yang tidak menjadikan partai sebagai lahan pekerjaan. Tapi menjadikan partai politik sebagai ajang darma.

Patut pula dicatat, paruh tahun 2008 ketika Kabupaten Madiun menggelar pemilihan bupati (Pilbup), Mas Madji sempat diminta menjadi calon bupati dari partai besar pemenang pemilu. Tapi permintaan ini ditolak dengan halus. Pertimbangan bahwa dirinya merupakan sentral figur di SH Terate menjadi alasan utama.

Mendiang Ketua Dewan Pusat Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate, Tarmadji Boedi Harsono (pshtsarolangun.blogspot.com)
Pertimbangan lain, karena usia. Usia Mas Madji di tahun 2008 sudah 61 tahun.Tahapan usia yang mengilhami beliau secara berangsur-angsur sudah harus meninggalkan ranah kasatrian (dunia ksatria) dan masuk ke ranah kapanditan. Istilah yang sering dia ucapkan, jika hidup ini diibaratkan sebagai pusaran cakra (cakra manggilingan), sudah saatnya beliau meninggalkan puncak kejayaan material, berpusar menuju nilai-nilai kerokhanian (kapanditan).

Lewat sikapnya ini sesungguhnya Mas Madji telah melakukan sebuah pembelajaran bagi kadang SH Terate. Bahwa, manusia hidup itu harus sadar diri. Harus bisa menerima dengan ikhlas dan menjalani “kodrat dan iramanya”, hingga mampu dengan intens menghayati apa yang disebut sebagai lungguhing urip, jejering urip, sangkan paraning dumadi, jer lahir trusing bathin (totalitas eksistensi manusia dan kemanusiaanya.

Jika sampai pada tahapan kesadaran ini, lanjut Mas Madji, manusia itu akan memahami maqom-nya (keberadaannya).
Penolakan dengan halus itupun dilakukan Mas Madji ketika ditawari menduduki jabatan strategis oleh sejumlah partai politik. Prinsipnya, kalau toh dia harus terjun ke dunia politik, dia menjadikan politik sebagai bagian dari dharma. Bukan menjadikan politik sebagai lahan pekerjaan.

Mas Madji menolak keras jika dituding sebagai pekerja politik. Sebab perekonomian keluarganya selama ini sudah ditopang oleh peruntungan wirausaha. Dan prinsip ini tak hanya berlaku sebagai jargon. Tapi eksis ditunjukkan lewat bukti dalam perjalanan karier politiknya.
Insan Religius

Wajarlah, jika kharisma Mas Madji berdarma dalam hidup mendapat pengakuan cukup baik dari masyarakat. Sampai-sampai sejumlah media, baik terbitan nasional maupun regional, sempat memberi julukan pada dia sebagai “Tokoh Sejuta Pesona”.

Menyadari dirinya adalah seorang muslim, pada tahun 1995 ia bersama istri tercinta, Hj.Siti Ruwiatun berangkat ke Tanah Suci Mekah Al Mukaromah menjadi tamu Allah, menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni ibadah haji. Ibadah ini kembali diulang pada tahun-tahun berikutnya. Baik berupa haji maupun umrah.

Tekad Mas Madji, jika Allah meridai ia dan keluarganya akan melaksanakan ibadah umroh tiap tahun.Setiap ada kesempatan. Bahkan, pada setiap acara ulang tahun, beliau bagi-bagi hadiah umroh kepada kadang SH Terate. Sekali waktu, ia mengajak kadang SH Terate berangkat umrah berombongan.

”Banyak pelajaran dan hikmah yang bisa saya ambil dengan beribadah umrah. Setiap pulang beribadah umrah, begitu kaki menginjak ke Tanah Air, jiwa saya mengatakan, ‘Ya Allah, beri saya kesempatan untuk kembali memenuhi panggilan-Mu’,” ujar Mas Madji.

Di komunitas al-Haj Madiun dan sekitarnya, Mas Madji juga dapat tempat. Jabatan ketua IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia) Kota Madiun diamanatkan kepadanya. Masih terkait urusan haji, dia andil besar dalam kelompok bimbingan haji (KBIH) dan menjadi Direktur KBIH Al’Mabrur.

Mendiang Ketua Dewan Pusat Persaudaraan Setia Hati (SH) Terate, Tarmadji Boedi Harsono (Facebook) Masih di urusan haji, belakangan ini Mas Madji juga sibuk mengelola biro perjalanan umrah. Malah untuk urusan ibadah umrah, tercatat sudah ratusan warga SH Terate yang ikut. Dari jumlah itu, belasan warga (terutama cantrik setia Mas Madji), diberangkatkan umrah secara gratis, atas tanggungan biaya darinya.

Tarmadji Boedi Harsono juga tercatat membidani lahirnya sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Kota Madiun. Lembaga itu bergerak hampir di segenap lini kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Mas Madji juga setia melestarikan budaya pencak silat hingga mendapat perhatian dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan gelar kehormatan dari Sinuwun Kanjeng Susuhan Pakubuwana Senopati Ing Ngalaga Ngadurakhman Sayidin Panatagama berupa gelar bangsawan Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT) dengan pangkat Bupati Riyo Nginggil, Juni 2013.

Dengan gelar kehormatan tersebut Mas Madji memiliki nama baru yang lebih ekskusif dan njawani, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro, SE.

  • Rilis : M. ANANG SASTRO.
banner 336x280